Kamis, 11 Februari 2010

LARANGAN MERAYAKAN VALENTINE

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan, Madura, Jawa Timur mengimbau umat Islam tidak merayakan hari Valentine, yang selama ini biasa dirayakan oleh sebagian warga di wilayah tersebut. Larangan perayaan hari Valentine ini disampaikan Ketua MUI Cabang Pamekasan, K.H. Lailurrahman, Kamis (11/2) menyusul banyaknya penyalahgunaan tentang perayaan hari Valentine oleh kaum remaja dan pemuda."Di samping itu, hari Valentine bukan tradisi umat Islam," katanya

Ia menjelaskan, hidup dengan penuh rasa kasih sayang, dalam ajaran agama Islam sebenarnya diperintahkan oleh Allah SWT. Namun konotasi hari Valentine pada 14 Februari, adalah kepada dewa-dewa. Sehingga perayaan hari Valentin bagi umat Islam, jelas masuk kategori menyimpang.

Oleh sebab itu, Ketua MUI Pamekasan, KH Lailurrahman mengimbau, agar umat Islam tidak merayakan hari Valentine. Kendatipun tidak menegaskan, bahwa memperingati hari Valentine hukumnya haram. Namun pengasuh pondok pesantren Ummul Qura Blumbungan ini menegaskan, bahwa segala sesuatu yang menjadikan pijakan perbuatan di luar aqidah Islam, maka perbuatan tersebut menyimpang dari nilai-nilai agama Islam. "Merayakan hari Valentine itu kan, juga sama dengan berhura-hura. Apalagi, misalnya digelar dengan melakukan perbuatan-perbuatan di luar batas kewajaran," kata Lailurrahman.

Menurut wikipedia, ada beberapa versi tentang hari Valentine yang kini banyak dirayakan kaum muda dan remaja di Indonesia dan dunia, setiap tanggal 14 Februari. Salah satunya sebagaimana mengutip Ensiklopedi Katolik (Catholic Encyclopaedia 1908), hari Valentine berasal dari peringatan santo Valentinus seorang tokoh terkemuka di Roma pada tahun 143 Masehi. Gagasan terkemuka dari tokoh Valentinus ini, bahwa hidup dengan cinta dan kasih sayang merupakan dambaan bagi semua orang dan gagasan ini diminati kebanyakan kaula muda ketika itu.

Ada juga yang menyebutkan, bahwa hari Valentine diimpor oleh Amerika Utara dari Britania Raya, negara yang mengkolonisasi daerah tersebut. Di Amerika Serikat kartu Valentine pertama yang diproduksi secara massal dicetak setelah tahun 1847 oleh Esther A. Howland (1828 - 1904) dari Worcester, Massachusetts.

Ketua MUI Pamekasan KH Lailurrahman lebih lanjut menjelaskan, jika dirunut dari sejarahnya, maka keberadaan hari Valentine jelas tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam dan nilai-nilai budaya Islam. "Wajar apabila MUI melarang pada pemuda Muslim merayakan hari Valentine tersebut," katanya.

Rabu, 20 Januari 2010

TUGAS

Adab dan Akhlak dalam Menuntut ilmu

Di dalam Al Qur’an diterangkan bahwa sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Ilmu merupakan sarana utama menuju kebahagiaan abadi. Ilmu merupakan pondasi utama sebelum berkata-kata dan berbuat. Dengan ilmu, manusia dapat memiliki peradaban dan kebudayaan. Dengan ilmu, manusia dapat memperoleh kehidupan dunia, dan dengan ilmu pula, manusia menggapai kehidupan akhirat.
Baik atau buruknya suatu ilmu, bukan karena ilmunya, melainkan karena niat dan tujuan si pemiliki ilmu. Ibarat pisau, tergantung siapa yang memilikinya. Jika pisau dimiliki oleh orang jahat, maka pisau itu bisa digunakan untuk membunuh, merampok atau mencuri. Tetapi jika dimiliki oleh orang baik, maka pisau itu bisa digunakan untuk memotong hewan qurban, mengiris bawang atau membelah ikan.
Beberapa hal yang dapat memperoleh kemudahan dalam menuntut ilmu:
1. taat beribadah, rajin bangun malam untuk sholat tahajud dan tafakur.
2. tidak berbuat maksiat
3. memuliakan/menghormati guru (adab murid kepada guru)
4. memuliakan/menghormati sahabat (adab murid kepada sesama murid)
5. memuliakan/menghormati kitab/buku (adab murid kepada pelajaran)
6. sering bergaul/berdiskusi dengan ulama (memuliakan ulama)membiarkan diri lapar ketika sedang belajar (rajin berpuasa).
adat menuntut ilmu:
Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dan dalam menuntut ilmu itu ada beberapa ada yang harus diperhatikan, berikut di antaranya.
BEBERAPA ADAB MENUNTUT ILMU
1. Mengikhlaskan niat karena Allah ta’âlâ.
2. Berdoa kepada Allah ta’âlâ supaya mendapatkan taufiq dalam menuntut ilmu.
3. Bersemangat (antusias) untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu.
4. Berusaha semaksimal mungkin untuk menghadiri kajian-kajian ilmu.
5. Apabila ada seseorang yang datang belakangan di tempat kajian hendaknya tidak mengucapkan salam apabila dapat memotong pelajaran yang berjalan, kecuali kalau tidak mengganggu maka mengucapkan salam itu sunnah. (Pendapat Syaikh al-Utsaimin dalam Fatawa Islamiyyah:, jilid 1, hlm. 170)
6. Tidak mengamalkan ilmu merupakan salah satu sebab hilangnya barakah ilmu. Allah ta’âlâ mencela orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya dalam firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. ash-Shaf: 2-3)
Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Tidaklah aku menulis satu hadits pun dari Nabi n, kecuali telah aku amalkan, sampai ada hadits bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbekam kemudian memberikan Abu Thaybah satu dinar,[1] maka aku pun memberi tukang bekam satu dinar tatkala aku dibekam.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 14)
Akhlak Terhadap Guru

Yang dimaksud dengan guru ialah orang yang berjasa mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada murid. Dalam hal guru, bisa dibedakan antara guru
pengajar dan guru pendidik. Pengajar adalah orang yang berjasa
mentranfer ilmu pengetahuan, sedangkan pendidik adalah orang yang
berjasa menanamkan pola tingkahlaku tertentu. Ukuran keberhasilan
guru pengajar terletak pada kemampuannya mentransfer ilmu pengetahuan
sehingga si murid menguasai ilmu yang diajarkan.

Penguasaan ilmu oleh si murid dapat diketahui melalui metode ujian
atau test, dan tingkat penguasaannya dapat dituangkan dalam bentuk
nilai 0-100 atau indek prestasi 0-4. Sedangkan ukuran keberhasilan
guru pendidik dapat dilihat pada ketrampilan, kedisiplinan dan
konsistensi tingkahlaku anak didik sepanjang hidupnya.
Kedudukan guru dan orang tua dari segi etik adalah sejajar. Orang tua
berjasa membesarkan anak, sementara guru berjasa mengenalkan ilmu
pengetahuan dan menanamkan pola tingkahlaku sehingga memungkinkan
seseorang mengembangkan konsep dirinya beraktualisasi diri menjadi
sosok manusia yang didambakan, baik oleh dirinya maupun oleh
keluarganya atau bahkan oleh masyarakatnya. Peran orang tua dan peran
guru bisa dilakukan oleh dua orang yang berbeda, bisa juga oleh orang
yang sama. Maksudnya bisa terjadi seorang ayah atau ibu adalah juga
seorang guru bagi anaknya, baik guru dalam bidang ilmu pengetahuan
maupun guru dalam bidang kehidupan.

Dalam dunia persilatan, seorang guru atau suhu sangat dihormati dan
dipatuhi, baik secara teknis maupun secara etis. Kepatuhan adalah
sikap mental, oleh karena itu seorang guru tidak otomatis dipatuhi
oleh muridnya, melainkan terlebih dahulu hams membuktikan "kelebihan"
yang dimilikinya di mata murid.

Dalam dunia pendidikan, seseorang dapat tiba-tiba menjadi pengajar
dari suatu cabang ilmu pengetahuan, tetapi tidak untuk menjadi
pendidik. Dari pengalaman penulis dalam dunia pendidikan menjadi guru
di SD/SLP dan SLA, sepuluh tahun pertama penulis menjadi guru belum
cukup mengantarnya menjadi pendidik. Baru pada tahun ke tigabelas,
penulis merasa menjadi pendidik, bukan hanya sekedar menjadi
pengajar.. Pusat perhatian seorang pengajar adalah pada transfer ilmu
pengetahuan di kelas, dan kriterianya sudah diatur dalam metodologi
pengajaran. Seorang pengajar merasa telah menyelesaikan tugasnya di
kelas, dan apa yang terjadi di luar kelas merasa bukan menjadi bagian
tugasnya. Oleh karena itu seorang pengajar pada umumnya hanya jengkel
menghadapi problem murid, bukan memprihatinkannya.

Perasaan seorang pengajar kepada murid lebih terfokus pada konteks
dirinya sebagai petugas, bukan pada kontek murid sebagai anak didik.
Sedangkan pusat perhatian seorang pendidik adalah pada anak didik
sebagai kesatuan pribadi manusia. Seorang pendidik akan sangat sedih
jika melihat anak didiknya mengalami penurunan prestasi, dan is
berusaha mencari akar permasalahannya, tak peduli apakah
permasalahannya di kelas atau di luar kelas. Seorang pengajar akan
dengan mudah tidak masuk kelas hanya karena merasa terganggu
kesehatannya, tetapi seorang pendidik tetap akan berusaha hadir di
kelas meski kesehatannya kurang mengizinkan.

Penulis, pada tahun ke tigabelas menjadi guru, baru merasa menjadi
pendidik setelah bertemu dengan dua pengalaman:

Pertama: bergaul dengan seorang kepala sekolah yang sungguh sangat
dedikatip dalam dunia pendidikan. Kepala Sekolah tersebut seorang
yang sebenarnya berstatus sosial tinggi, tetapi perhatiannya kepada
tugas kependidikannya sangat tinggi. Ia selalu menengok mu-rid yang
sakit, menjenguk guru yang sakit, hadir dalam setiap undangan hajatan
wali murid, satu hal yang bagi penulis pada mulanya sangat
merepotkan, tetapi lama-kelamaan ikut menghayati makna tugas
kependidikan secara konprehensip.

Kedua: setelah penulis berkenalan dengan tugas-tugas guru Bimbingan
dan Penyuluhan (BP), atau Konseling pendidikan. Sebagai guru BP,
penulis akhirnya mengetahui problem yang sebenarnya dari seorang
murid sebagai anak manusia. Penulis menjumpai seorang murid yang
sebenarnya cerdas, religius, tetapi terkadang tiba-tiba berperilaku
aneh. Dari pendekatan yang selalu penulis lakukan akhirnya penulis
tahu bahwa murid tersebut mengalami problem krisis identitas. la
meragukan siapa jati dirinya setelah mengetahui dari guru biologinya
bahwa dari golongan darah yang dimilikinya tak mungkin lahir dari dua
orang yang selama ini dikenal sebagai ayah ibunya. Perasaan galau itu
menjadi lebih dalam setelah memperoleh informasi dari rumah sakit
bahwa pada tahun-tahun kelahiran dirinya pernah terjadi kasus bayi
tertukar. Krisis identitas itu ternyata berakibat sangat serius dalam
hubungan interpersonalnya dengan keluarganya, yang dampaknya melebar
ke prestasi belajarnya, dan integritas dirinya. Kasus lain pernah
penulis jumpai, seorang murid perempuan,

kelas tiga SLP sangat agresip kepada lelaki, termasuk kepada penulis.
Penulis sering dibuat terkesima dan kikuk oleh agressifitas murid
tersebut yang bernuansa seksual. Dari pendekatan yang penulis lakukan
dapat diketahui bahwa anak tersebut ditinggal mati ayahnya ketika
umur dua tahun dan sejak itu ibunya hidup menjanda. Gadis kecil itu
rupanya tumbuh dalam rumah tangga yang sangat memprihatinkan. Karena
rumahnya yang sempit ia sering memergoki ibunya berhubungan intim
dengan lelaki kekasihnya yang tidak pernah menikahinya. Gadis belia
itu telah teracuni oleh pemandangan yang tidak semestinya, tetapi
keadaan tidak membantu mencarikan jalan keluar. Gadis itu rajin
mengaji dan rajin menjalankan salat, dan prestasi sekolahnya juga
tidak terlalu mengecewakan, tetapi alam bawah sadarnya sering datang
muncul dalam wujud perilaku agressip, bahkan terhadap guru lelakinya
seperti yang dia lakukan kepada penulis.

Sebagai guru BP penulis bukan hanya berhubungan dengan mu-rid tetapi
juga dengan orang tua dari murid yang bermasalah, oleh karena itu
penulis banyak sekali berjumpa dengan problem-problem "kemanusiaan"
atau problem manusiawi, menyangkut murid, orang tua murid
(masyarakat) dan juga rekan guru. Sebagai manusia, penulis sering
mengalami konflik batin dalam menangani kasus-kasus konseling, tetapi
sebagai pendidik, keprihatinan seorang guru lebih dominan. Penulis
sangat akrab dengan problem anak didik, begitu akrabnya hingga
terkadang terjadi bias cinta, antara cinta seorang guru dan cinta
seorang lelaki.

Pengalaman berhubungan dengan problem anak didik (dan masyarakat) itu
mengantar penulis pada keindahan perasaan seorang guru, baik ketika
berhasil membantu orang lain maupun ketika menerima penghormatan yang
tulus dari murid-murid. Sebagai pendidik, penulis sangat tertantang
oleh problem yang dihadapi oleh murid (dan orang tuanya), seperti
gairahnya seorang petinju menemukan lawan tanding yang seimbang atau
lebih. Penulis sangat terharu ketika mengetahui bahwa ada sejumlah
murid, meski tidak berjumpa selama lebih dari duapuluh tahun tetapi
masih sering menyebut nama penulis sebagai gurunya ketika ia
menasehati anaknya atau muridnya.

Dalam tradisi Islam, akhlak seorang murid kepada guru diwujudkan
dalam berbagai bentuk, misalnya silaturrahmi secara berkala kepada
guru, memperioritaskan sedekah atau infaq materiil kepada nya,
memberi nama anaknya dengan nama guru, mohon nasehat dan doa restu
kepada guru setiap mempunyai hajat stratetgis, sampai kepada mengirim
fatihah dan menempatkan nama guru dalam susunan orang-orang yang
tercatat dalam teks doa setiap ba'da salat atau pada event-event
terten
Adab terhadap kepada guru
• menghormati dan memuliakan guru dan keluarganya dengan tulus dan ikhlas
• tunduk dan patuh terhadap semua perintah dan nasihat guru
• jujur dan setia bersama guru
• bersikap rendah hati, lembut dan santun kepada guru
• hendaknya memaafkan guru ketika beliau melakukan suatu kesalahan
• tidak menjelek-jelekan dan tidak memfitnah guru
• tidak menghianati dan tidak menyakiti hati guru
• berusaha melayani guru dengan sebaik-baiknya
• selalu berusaha menyenangkan hati guru
• memanggil guru dengan panggilan yang disukainya
• berusaha menyukai apa yang disukai oleh guru
• membiasakan diri memberikan hadiah kepada guru dan keluarganya sebagai tanda penghormatan kepada mereka
• tidak berjalan di depan guru ketika berjalan bersamanya
• tidak terbahak-bahak di depan guru
• tidak meninggikan suara ketika berbicara dengan guru
• selalu duduk dalam sikap sopan
• berusaha keras ( jihad ) dan tekad membuat kemajuan bersama guru

Selasa, 12 Januari 2010

Agenda kegiatan selama liburan

kegiatan sehari-hari selama liburan sekolah :
06.00 : aku bangun tidur dan membersihkan tempat tidur lalu sarapan pagi,
08.00 :mandi , selesai mandi aku berpakaian
10.00 : aku menonton tv
12.00: makan siang, dan sesudahnya sholat dzuhur.
13.00 : tidur siang
15.30: bangun tidur , mandi dan sholat asar
16.00 : menonton tv
18.30 : sholat mangrib.
19.30: sholat isya
20.00: menonton tv
22.00: tidurrrr.